Rabu, 12 Februari 2014

GAMPINGROWO ALAS TRIK. BUAH MAJA YANG PAHIT
Om awignam astu namas sidam,
[Mugi linupútnå ing rêridhu]
Om nathaya namostute stuti ning atpada ri pada bhatara nityasa,
Sang suksme teleng ing samadhi siwabuddha sira sakalaniskala atmaka,
Sang sriparwwatanatha natha ning anatha sira ta pati ning jagadpati,
Sanghyang ning hyang inisty acintya ning acintya hana waya temah nireng jagat
.
Setelah meruntuhkan kerajaan Tang, orang-orang Mongol kemudian mendirikan sebuah pemerintahan baru yang diberi nama Sung (Song). Salah satu anak Jenghis Khan, sang penakluk kerajaan Cina, bernama Kubilai Khan menjadi raja pertamanya.
Keinginan untuk memperluas pengaruh bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Mongol sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara dari kerajaan Singasari.
Untuk maksud tersebut, Kubilai Khan mengirim seorang utusan bernama Meng Khi ke Jawa meminta raja Kartanagara untuk tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa tersinggung, utusan itu dicederai wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja Mongol.
Perlakuan Kartanegara terhadap Meng Khi dianggap sebagai penghinaan kepada Kubilai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan merupakan sejarah yang sangat menarik tentang kehancuran kerajaan Singasari dan munculnya kerajaan Majapahit.
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol.
Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kubilai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang.
Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293.
Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.
Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran.
Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi.
Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singasari.
Oleh karena perintah Kubilai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja Singasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singasari.
Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama.
Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala tentara Mongol (disebut Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura, Aria Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha.
Aria Wiraraja berjanji kepada raja Mongol bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik sebagai tanda persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada raja Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah merapat di Jawa.
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat.
Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar bahwa pasukan Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan pasukannya.
Melihat keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit ini kemudian dijadikan bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang.
Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil (mungkin setingkat provinsi di masa sekarang) turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina.
Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Singasari mulai dilancarkan.
Kekuatan kerajaan Singasari di sungai tersebut dapat
dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singasari.
Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singasari. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden Wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian.
Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari.
Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit.
Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol.
Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh 200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan persembahan kepada Kaisar Kubilai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu.
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130 kilometer), sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan yang menunggunya di pesisir utara.
Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Kekakalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kubilai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya.
Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singasari berhasil dihancurkan.
Peristiwa kehancuran Singasari dikabarkan oleh Kidung Harsawijaya, Kidung Panji Wijayakrama dan Kitab Pararaton: Peristiwa kehancuran Singasari terjadi tahun 1292. Jayakatwang lalu menjadi raja, dengan Kadiri sebagai pusat pemerintahannya. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya yang datang menyerahkan diri.
Raden Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik untuk dibuka menjadi kawasan wisata perburuan.
Sesungguhnya Aria Wiraraja telah berbalik melawan Jayakatwang. Saat itu ia ganti membantu Raden Wijaya untuk merebut kembali takhta peninggalan mertuanya.
Pada tahun 1293 pasukan Mongol datang untuk menghukum Kertanegara yang telah berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Pasukan Mongol tersebut diterima Raden Wijaya di desanya yang bernama Majapahit.
Raden Wijaya yang mengaku sebagai ahli waris Kertanegara bersedia menyerahkan diri kepada Kubilai Khan asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang.
Berita Cina menyebutkan perang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293. Gabungan pasukan Mongol dan Majapahit menggempur kota Kadiri sejak pagi hari. Sekitar 5000 orang Kadiri tewas menjadi korban. Akhirnya pada sore harinya, Jayakatwang menyerah dan ditawan di atas kapal Mongol.
Berita Cina dimaksud adalah Karya Chou Ku-fei yang berjudul Ling-wai-tai-ta tahun 1178, yang di dalamnya terdapat gambaran keadaan Jawa di masa kerajaan Kadiri. Buku ini kemudian dikutip oleh Chau Ju-kua dalam karyanya yang berjudul Chu-fan-chi, tahun 1225.
Saat itu kerajaan Kadiri sudah dikalahkan kerajaan Tumapel atau Singasari, juga Sejarah Dinasti Yuan, yang di dalamnya terdapat kisah pengiriman pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Kertanegara raja Singasari (1268-1292).
Dikisahkan kemudian pasukan Mongol ganti diserang balik oleh pihak Majapahit untuk diusir keluar dari tanah Jawa. Sebelum meninggalkan jawa, pihak Mongol sempat menghukum mati Jayakatwang dan Ardharaja di atas kapal mereka.
Pada akhir hidupnya, menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Adapun menurut Kidung Panji Wijayakrama, Jayakatwang yang telah menyerah lalu ditawan di benteng pertahanan Mongol di Hujung Galuh. Ia meninggal di dalam tahanan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kubilai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut.
Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kubilai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Khi.
Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi dipulihkan dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam jenjang tata pemerintahan kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.
Setelah Singasari diruntuhkan Raja Jayakatwang maka Raden Wijaya yang lolos dari penyerangan ke puri Singasari mencari perlindungan ke Madura yaitu adipati Wiraraja di Sumenep, hal ini sesuai dengan berita dalam Kidung Panji Wijayakrama, kitab Pararaton dan sumber primer Prasasti Kudadu berangka tahun 1216Ç/1294M yang di keluarkan oleh Dyah Sanggrāmawijayā Śri Maharajā Kĕrtarājasa Jayāwardhanā Anantawikramottunggadewa, nama nobatan Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit,
Prasasti Kudadu berisi pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit, dalam pelariannya menuju Songenep (Sumenep), yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Jayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja, penduduk desa Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
Kitab Pararaton mengabarkan:
Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis.
Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.
Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba hambanya.
Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap.
Berangkatlah Raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang menghadap.
Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: “nah, apakah kataku, saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.”
Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan pinang.
Kata Ranggalawe: “Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya.
Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya.
Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya.
Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.
Berkatalah Wiraraja: “Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan.”
Raden Wijaya menjawab: “Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu.”
Sembah Wiraraja: “Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.”
Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya.
Kata Raden: “Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua.”
Kata Wiraraja: “bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja.
Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras.
Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata: “Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang menghadap tuanku dekat.
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah diubah menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: “Jika ada hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim surat kepada raja Jaya Katong.”
Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan, menghadap raja Jaya Katong, mempersembahkan surat itu.
Adapun bunyi surat: “Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda mohon ampun, ingin takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda maklum, terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka tuan.”
Kata Raja Jaya Katong: “Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami.”
Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya.
Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah.
Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja.
Wiraraja senang.
Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga menghantarkan kembali di Terung.
Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat dicintai.
Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan di Manguntur negara Daha.
Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora.
Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, “Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu.”
Jawab Raden Wijaya: “Baiklah tuanku.”
Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa lari.
Kata raja Jaya Katong: “Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya.”
Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan, lalu bubar.
Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya.
Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik.
Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit.
 Babad Tanah Jawi menceritakan:
Radèn Wijåyå, wayahé Nåråsingå, nuli umangsah ngêtog kaprawiran mbélani nagårå lan ratuné, nanging wis kâslêpêk karoban wong Dåhå, mulané banjur kâpêkså ngoncati, mung kari nggåwå bålå rolas, gênti-gênti nggéndhong Sang Putri garwané Radèn Wijåyå, putrané Prabu Kârtånagårå.
Lampahé Radèn Wijåyå sasêntanané nusup angayam alas. Kalêbu wilangan rolas iku ånå satriyané loro, putrané Wiråråjå, duwé atur marang Gustiné supåyå ngungsi mênyang Mâdurå.
Sang Pangéran mauné ora kârså, nanging suwé-suwé nuruti. Ånå ing Mâdurå ditampani kalawan bêcik. Rêmbugé Wiråråjå, Radèn Wijåyå diaturi suwitå mênyang Dåhå. Wiråråjå sing arêp nglantaraké. Yèn wis kêlakon suwitå Radèn Wijåyå diaturi nyêtitêkaké pårå punggåwå ing Dåhå, såpå sing kêndêl utåwå jirih, tuhu utåwå lamis.
Yèn wis antårå suwé diaturi nyuwun tanah Trik, dibabadå banjur diênggonånå. Radèn Wijåyå nurut ing pitudhuh, lan iyå kâlakon suwitå ing Dåhå. Kacaritå pasuwitané kanggêp bangêt, amargå såkå pintêré nuju kârså, lan såkå pintêré olah gêgaman; wong sa Dåhå ora ånå sing biså ngalahaké.
Kabèh piwulangé Wiråråjå ditindakaké, dilalah Sang Prabu têkå dhangan baé, malah barêng tanah Trik wis dibabad, Radèn Wijåyå nyuwun manggon ing kono iyå dililani.
Kacaritå nalikå babadé tanah Trik mau, ånå wong kang mêthik woh måjå dipangan, nanging rasané pait. Awit såkå iku déså ingkono mau banjur dijênêngaké Måjåpait.
Barêng Radèn Wijåyå wis manggon ing Måjåpait, rumångså wis wayahé tåtå-tåtå malês ukum, ngrusak kraton Dåhå, ananging Wiråråjå akon sabar dhisik, awit isih ngênténi prajurit såkå nagårå Cina kang arêp ngukum wong Singåsari.
Karêpé Wiråråjå arêp ngréwangi Cinå baé dhisik, bêsuké arêp mbalik mungsuh Cinå. Wiråråjå banjur boyong sakulåwargané lan saprajurité mênyang Måjåpait ngumpul dadi siji karo Radèn Wijåyå.
Wiraraja bukanlah tokoh asing lagi, pada masa Singasari dia adalah tokoh yang dalam Pararaton berhasil menghasut Jayakatwang untuk segera menyerang Singasari. Dalam dunia politik dia ahli dalam bidang strategi.
Hal ini terbukti dengan usulan agar Raden Wijaya berpura-pura menghamba kepada Raja Jayakatwang. Setelah mendapat kepercayaan, Wiraraja menyuruh agar Raden Wijaya meminta hutan orang Trik.
Kemudian Wiraraja mengirim orang-orang Madura dan Raden Wijaya mengerahkan orang Tumapel untuk membuka hutan tersebut untuk dijadikan desa. Saat pembukaan hutan ada salah satu prajurit yang lapar lalu memakan buah Maja namun terasa pahit sekali. Dari kejadian tersebut dinamakanlah desa tersebut Majapahit.
Sesuai sumber Kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama, lokasi daerah yang diminta Raden Wijaya adalah hutan belantara yang masuk wilayah orang Trik.
Kekakalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Babad Tanah Jawi mengisahkan:
Ing têngah têngahané taun 1292 Måhåråjå Choêbilai sidå mangkataké wadyå bålå mênyang ing Tanah Jåwå pêrlu arêp ngukum Prabu Kartånagårå. Ånå ing pacêkan (Suråbåyå) prau Jåwå kalah, nuli bålå Cinå arêp nglurugi Dåhå, kang dikirå panggonané Kârtånagårå (kang nalika iku wis sêdå).
Kacaritå Radèn Wijåyå dhèk jaman samono wus wiwit mbalélå marang Jåyåkatwang ratu ing Dåhå. Sarèhné duwé pangarêp-arêp biså ditulungi ing Cinå numpês ratu ing Dåhå, mulané Radèn Wijåyå banjur gawé gêlar éthok- éthok arêp têluk marang sénåpati Cinå.
Kâbênêran ora lêt suwé Måjåpait, panggonané Radèn Wijåyå ditêmpuh ing wong Dåhå, Radèn Wijåyå ântuk pitulungané wong Cinå biså mênang. Wasånå ing taun 1293 kuthå Dåhå dikêpung ing balané Shih Pih lan Radèn Wijåyå, Dåhå bêdhah, ratuné kacêkel, pèni-pèni råjå pèni dijarah rayah, Radèn Wijåyå nulungi putri-putri, putrané Prabu Kartånagårå digåwå oncat mênyang Måjåpait.
Ora antårå suwé, margå sâkå akalé Wiråråjå, Radèn Wijåyå bisa ngusir prajurit Cinå. Wondéné prajurit mau, sênadyan kêsusu-susu mêkså isih biså anggåwå barang rayahan, pêngaji mas sâtêngah yutå tail lan tawanan wong satus sâkå Dåhå.
Radèn Wijåyå banjur jumênêng Nåtå ing Måjåpait, jêjuluk Kêrtârêjåså Jåyåwardhånå utåwå Bråwijåyå I (taun 1294 – 1309).
Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing.
Pada tahun 1215C/1293M Raden Wijaya membangun keraton baru di wilayah Trik, kemudian menyatakan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta/Majapahit.
Mengenai peranan Arya Wiraraja dalam membantu Raden Wiraraja menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara Tartar, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Panji Wijayakrama, kidung Ranggalawe dan Kidung Harsawijaya.
Beberapa prasasti seperti Piagam Kedadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Otober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Raden Wijaya ke Madura.
Pararaton mengabarkan:
Raden Wijaya menyeberang ke utara turun perahu terhalang malam ditengah sawah di daerah perbatasan Songennep, bermalam ditengah sawah yang baru saja habis disikat pematangnya.
Sembah Wiraraja: “Janganlah Tuanku khawatir hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan-lahan”, kata Raden Wijaya: “Bapa Wiraraja, sangat besar utangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi dua tanah Jawa nanti, hendaknya kamu menikmati seperduanya, saya seperdua”; Kata Wiraraja: “Bagaimana saja, Tuanku, asal Tuanku dapat menjadi raja saya.”
Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja. Lama Raden Wijaya bertempat tinggal di Songennep (sebutan lain dari Sumenep).
Disitu Arya Wiraraja berkata: “Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknyalah Tuan pergi menghamba kepada raja Jayakatong, hendaknya Tuan seakan-akan minta maaf dengan kata-kata yang mengandung arti tunduk; kalau sekiranya raja Jayakatong tak keberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas-lekas pindah bertempat tinggal di Dhaha, kalau rupa-rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan mohon hutang orang terik kepada raja Jayakatong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu. Hamba-hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba-hamba Madura yang menghadap tuanku dekat.
Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat-lihat orang-orang Jayakatong siapa yang setia, yang berani, sifat-sifat Kebo-Mundarang, sesuadh itu semua dapat diukur hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirobah menjadi desa oleh hamba Madura itu.
Dalam Kidung Panji Wijayakrama peranan Wiraraja dalam membantu Raden Wijaya tidak ada perbedaan yang prinsip jika dibandingkan dengan Pararaton.
Kidung Harsa Wijaya mengabarkan:
Atas nasehat sang pertapa mereka (Raden Wijaya) menyebrang ke Madura untuk minta bantuan Arya Wiraraja. Dan di Madura Raden Wijaya menentukan saat yang tepat, untuk merencanakan kembalinya atau merebut kerajaannya.
Kepada Wiraraja ia berjanji akan memberikan separuh kerajaan atas jasa-jasanya dan bantuannya yang tidak terhingga.
Dari gambara-gambaran yang diceritakan oleh sumber-sumber diatas, peranan Arya Wiraraja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan tentaranya, jauh dibalik itu Wiraraja adalah seorang penganut strategis, dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
Tepatlah kiranya apabila Ia disebut sebagai aktor intelektualis. Penulis sejarah Majapahit tidak akan pernah lepas dari peranan Arya Wiraraja serta orang-orang Madura awal pendirinya.
Seseorang karena manusiawi, pastilah memiliki kebaikan dan keburukan, kelebihan atau kekurangan. Dalam hal ini dari “kebaikan atau kelebihan” keteladanan Arya Wiraraja dapat dipelajari sejarahnya dan diperoleh hikmahnya.
1. Tahu membaca jaman,
Akibat kemahiran berdaya tebak tinggi (babatangan) sehingga siapa orang yang akan memimpin negeri sebagai penguasa, maka Arya Wiraraja mengikuti jejak ini, sehingga tindakannya mirip dengan tindakan insan politik jaman kini. Bagi orang yang tidak mengikuti “membaca jaman”, tindakan Arya Wiraraja ini akan dianggap sebagai penghianatan.
Babatangan (Jawa; mbatang = menebak, menerka), sering diterjemahkan sebagai juru ramal atau semacam penasehat spiritual yang sebenarnya adalah seorang penasehat ahli strategi (militer dan politik ketatanegaran) yang bisa membaca situasi.
Kecemerlangan analisa-analisanya menyebabkan orang mengira dia punya suatu kelebihan sebagai orang yang bisa meramal kejadian-kejadian di masa yang akan datang.
Mengingat pendirian demikian, maka ia pastilah “anak jaman”, “Wongira” orang yang berkuasa/akan berkuasa. Hal ini terbukti :
  • mengabdi kepada Kertanegara sebagai Adipati Songennep.
  • mengingatkan Jayakatwang untuk menumbangkan Kertanegara, dan kawannya Empu Raganatha.
  • memberikan perlindungan kepada Raden Wijaya dan menjanjikan untuk menolong jadi Raja.
  • membujuk tentara Mongol/Tartar untuk bersama Raden Wijaya menumbangkan Jayakatwang.
  • bersama Raden Wijaya menghancurkan tentara Mongol/Tartar
  • memberikan puteranya menjadi korban pemberontakan terhadap Raden Wijaya. (Peristiwa Rangga Lawe).
  • menjadi “Gubernur”Lumajang, dan dari sana membiarkan Nambi memberontak terhadap Raden Wijaya.
2. Nasionalisme.
Pengabdian Arya Wiraraja adalah untuk Kertanegara yang paling lama. Maka segala sepak terjang Kertanegara dalam usahanya menyatukan Nusantara penaklukan Bali dan Melayu, diketahuinya dengan pasti dan Arya Wiraraja merupakan bagian dari penyatu tersebut.
Dimana saja ia bertugas, tanpa pandang suku dan wilayah, dilaksanakannya dengan baik. Sejak di Singosari, Songennep, Mojopahit, sampai di Lumajang, ia bekerja dengan baik, sehingga ia di semua tempat tersebut dihormati dan dianggap sebagai pemimpinnya.
3. Setia pada tugasnya.
Manifestasi kesetiaan Arya Wiraraja ini akan tugasnya tidak pernah menolak tugas. Ia dengan setia menempati pos kerjanya:
  • sebagai “babatangan” ia berdomisili di Singasari.
  • sebagai Adipati ia berdomisili di Songennep.
  • sebagai “pelindung” ia secara aktif bekerja keras muwujudkan Majapahit.
  • sebagai rakyat, sebagai mantri ia berdomisili di Majapahit.
4. Sebagai kuasa usaha Blambangan ia berdomisili di Lumajang akhir hayatnya.
Manifestasi kesetiaannya ini juga tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe dibunuh secara kejam ketika mengadakan pembangkangan terhadap Raden Wijaya. Demikian pula terhadap Nambi yang melakukan dari Lumajang sendiri.
Manifestasi sikap diam dan kesabarannya ini merupakan kesetiaan yang tinggi pada jaman tersebut, yang tercermin ketika pertama kalinya “dijauhkan” ke Songennep.
Kesetiaan yang menonjol lainnya ialah ketika ia dengan rendah hati menolong Raden Wijaya yang terlunta-lunta dengan menjanjikan untuk mengembalikannya sebagai raja.
5. Cerdik.
Kecerdikan Arya Wiraraja sangat nampak ketika “menyutradarai” berdirinya kerajaan Majapahit dengan tokoh sentral Raden Wijaya. Urutan sekenarionya adalah:
Agar Raden Wiraraja pura-pura menyerah kepada Prabu Jayakatwang. Wiraraja kemudian mengirimkan surat dengan utusan yang menyatakan bahwa Raden Wijaya menyerah dan ingin mengabdi kepada sang Prabu Jayakatwang.
Agar Raden Wijaya diterima sebagai pegawai istana.
Selama tinggal di istana agar menyelidiki kekuatan tentara Dhaha/ Kediri.
Bila kelak telah dipercaya, agar mengajukan permohonan untuk membuka hutan Tarik. Dan tenaga akan di kerahkan dari Madura. Apabila daerah Tarik telah siap, agar Raden Wijaya pindah menetap disana.
Selanjutnya Raden Wijaya agar mencari simpati orang-orang Tumapel dan menariknya untuk menetap di Trik. Orang Madura akan dikerahkan ke Tarik sehingga perkampungan tersebut menjadi kuat (menjadi Majapahit), dan siap untuk melawan Dhaha.
Aria Wiraraja menghubungi tentara Tartar/Mongol untuk bersama menggempur Jayakatwang dengan janji akan menganugerahi putra-putri keraton yang cantik.
Penghancuran tentara Jajakatwang oleh tentara Tartar yang juga dibantu Raden Wijaya dan Wiraraja. Penyerahan tentara keraton hendaknya diterima oleh pembesar tentara Tartar tanpa senjata, karena putra-putri tersebut “alergi” terhadap senjata.
Penyerangan tentara Tartar yang tidak berdaya oleh Raden Wijaya bersama Wiraraja sampai kelaut.
Letak Trik
Sampai sekarang daerah yang memiliki bukti-bukti besar bekas keraton agung Majapahit adalah Trowulan, daerah yang terletak di ujung Selatan Kabupaten Mojokerto.
Namun apakah hutan Trik yang dibuka menjadi Desa Majapahit oleh Raden Wijaya adalah di Trowulan ini?
Baiklah mari kita analisa bersama-sama dengan melihat sumber-sumber sejarah yang ada dan takta-fakta yang berada di lapangan.
•   Majapahit didirikan di atas tanah yang dahulunya adalah hutan belantara milik orang Tarik berarti di daerah yang minimal agak jauh dengan pemukiman penduduk kampung.
Lalu bagaimanakah Trowulan? Bila syaratnya adalah tanah hutan yang agak jauh dari pemukiman penduduk pada masa itu, jelas di daerah Trowulan tidak cocok bila memposisikan Majapahit awal disana.
Hal ini berdasarkan di daerah sekitar penemuan situs bekas Keraton di Trowulan adalah bekas pemukiman Kuno. Bukti tentang hal tersebut sangatlah jelas yaitu ditemukannya Prasasti Alasanta (Alasantan?) yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861Ç/939M. Prasasti tersebut memberikan informasi tentang pemberian tanah sima Alasanta kepada Rakryan Kabayan, dan dihadiri oleh para rama dari desa desa sekitar sebagai saksi pada peresmiannya.
Dari nama-nama desa yang tertera pada isi prasasti tidak ada yang menyebutkan daerah Trik. Kemudian Prasasti Kamban yang di keluarkan oleh Şri Maharajâ Rakê Hino Şri Isyanawikrama Dyah Matanggadewâ pada tahun 893Ç, ditemukan di dukuh Pelem, desa Temon, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto. yang meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Şri Maharajâ Rakê Hino Şri Isyanawikrama Dyah Matanggadewâ meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
Prasasti Alasantan ditemukan sekitar 45m barat daya Candi Brahu di wilayah desa Bejijong, sebelah utara desa Trowulan.
Alasantan yang dahulu lebih dikenal sebagai nama wilayah dalam pemerintahan Majapahit, sekarang sudah berubah menjadi desa Bejijong. Desa Bejijong dalam pemerintahan daerah Kabupaten Mojokerto terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Bejijong dan Dusun Kedungwulan.
Konon menurut ceritera orang-orang tua atau tokoh masyarakat, Bejijong berasal dari kata “beji” yang berarti “danau” dan “jong” atau “jung” berarti “perahu” sedangkan Kedungwulan berasal dari kata “kedung” yang berarti “danau atau cekungan yang berisi air” dan kata “wulan” yang berarti “bulan”.
Daerah itu kira-kira merupakan suatu kawasan yang di dalamnya terdapat danau, atau situ atau bendungan yang airnya melimpah, dan dari namanya dapat diperkirakan di tempat itu sampai-sampai dapat dipergunakan untuk berperahu.
Dimungkinkan juga daerah itu merupakan suatu situs kawasan ekonomis (zona ekonomis) sebagai tempat mangkalnya perahu-perahu. Tentu kita berharap para ahli sejarah ataupun para arkeolog suatu saat dapat menunjukkan legenda ini benar-benar terbukti secara ilmiah sebagai kawasan yang potensial menunjang kebesaran Kerajaan Majapahit.
Prasasti Alasantan menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isyanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.
Pada lempengan III.9-12 prasasti ini disebutkan bahwa para rama dari desa-desa di sekitar Alasanta yang hadir sebagai saksi pada peresmiannya menjadi sima.
Berturut-turut disebutkan: rama ri alasantan, rama ri lmah tulis, rama i skarbila, rama i lbuh runting, rama i padanga, rama i tirim panda, rama ing lapan rupa dan rama i wulu taj.
Penyebutan desa Lmah Tulis setelah desa Alasanta itu mengindikasikan daerah tersebut saling berdekatan, faktanya desa Kedungwulan yang (dahulu bernama Lmah tulis) terletak di desa Bejijong, tempat penemuan Prasasti Alasanta.
Kemudian nama wanua i tangunan (III.3) masih bisa kita temukan di sebelah tenggara Trowulan sekarang.
Nama wahuta i pageruyung (III.8-9) sekarang ada di desa Pagerluyung sebelah utara Trowulan. Nama rama i padangan masih terdapat pada desa Padangan sebelah timur laut Trowulan.
Dari data-data di atas jelaslah bahwa daerah Trowulan pada masa awal Majapahit adalah daerah yang cukup ramai dikelilingi pemukiman penduduk sejak masa Mpu Sindok sampai sekarang.
Jadi identifikasi Trik di sekitar Trowulan kurang tepat, apalagi tidak adanya informasi tentang kata Trik dalam prasasti Alasanta.
Trowulan yang dahulu masuk daerah Alasanta dan juga daerah Lmah Tulis pastinya ramai dikunjungi para tokoh-tokoh dari Daha. Apalagi daerah Lmah Tulis (Lmah Citra) bila dihubungkan dengan Tokoh Mpu Barada yang beragama Budha tentulah daerah ini sangat terkenal atas jasa-jasa sang Mpu yang dahulu pernah membelah Kerajaan raja Airlangga menjadi Panjalu dan Jenggala.
Candi Brahu, dan Candi Gentong di daerah Bejijong yang bercorak agama Budha, menimbulkan penafsiran bahwa daerah tersebut sejak masa Airlangga sampai Majapahit merupakan daerah kebudhaan, maka pantaslah pertapa Baradha tinggal di sana.
•   Sekilas Trowulan secara geografis cukup menguntungkan bila dijadikan pusat ibu kota kerajaan Majapahit yang menguasai Negara-negara di lima penjuru mata angin.
Lokasinya yang di tengah-tengah Jawa bagian timur menjadikannya lebih mudah untuk mengawasi negara-negara bawahan utamanya, seperti Daha, Tumapel, Canggu-Ujunggaluh, Madura dan Tuban.
Sebagai tempat pertahanan dari serangan luar Jawa memang pantas karena sebelum menuju ibu kota di Trowulan musuh dari luar pasti mendarat di kota-kota pelabuhan yang telah dikuasainya.
Selanjutnya menuju benteng-benteng pertahanan yang berlapis di daerah-daerah panca ring wilwatikta sebelum akhirnya kepusat keraton Majapahit di Trowulan.
Namun bila Wiraraja seorang yang ahli dalam strategi politik dan perang, maka penempatan Ibu kota kerajaan pada awal pendiriannya di Trowulan tidak begitu menguntungkan. Selain dekat dengan musuh utamanya di Kadiri daerah Trowulan juga cukup jauh dengan kota pelabuhan yang dapat menghubungkan dengan daerah sekutunya di Madura.
Kecuali daerah Canggu, Terung, dan Kambang Sri dikuasai oleh Raden Wijaya, namun sesuai informasi dari Prasasti Kudadu (1294 M) daerah-daerah tersebut telah di kuasai prajurit Daha saat pelariannya ke Madura.
Hal ini menjadikan Trowulan sangat rawan bila dijadikan basis pertahanan untuk pemberontakan terhadap Jayakatwang di Kadiri. Selain itu jalur Kadiri-Penanggungan melewati Trowulan, di mana “pusat sakral”, terutama dinasti Isyana ada di gunung leluhur raja-raja Panjalu-Jenggala tersebut.
Bila Jayakatwang meruntuhkan Singasari karena salah satu sebabnya ingin balas dendam ataupun bercita-cita luhur mengembalikan kehormatan keluarga raja-raja Kadiri (Panjalu) yang berakar dari dinasti Isyana, maka jelas daerah seperti Daha dan Penanggungan adalah “daerah sakral” leluhur Jayakatwang yang tidak luput dari pengawasan pasukannya.
•   Kalau Trowulan bukan Trik, lalu dimana sesungguhnya Trik berada? Bila kita buka peta Kab. Sidoarjo sekarang maka pada ujung Baratnya terdapat Kecamatan Tarik. Kecamatan ini berada antara perpecahan Sungai Mas yang menuju Canggu lalu Ujunggaluh dan Sungai Porong. Toponimi nama Trik sekarang menjadi Tarik.
Namun cukup sulit untuk menemukan lokasi ibukota kerajaan Majapahit. Tulisan ibu Ingrit H.E Pojoh yang berjudul Medowo sebagai Kota Majapahit, dalam Berkala Arkeologi Edisi Khusus halaman 216-217 (1994) dapat menguak misteri tersebut, disebutkan bahwa:
Medowo adalah nama sebuah dukuh yang terletak di delta sungai Brantas, kurang lebih 5 kilometer sebelah timur percabangan sungai Brantas menjadi Sungai Mas (Surabaya) dan sungai Porong. Mayoritas wilayah dukuh ini secara administratif termasuk dalam wilayah desa Gampingrowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Penelitian di Medowo dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1986 memperlihatkan bahwa pada permukaan tanah banyak ditemukan indikator desa sekaligus merupakan situs arkeologi.
Tinggalan arkeologis tersebut antara lain tembikar, keramik, bata, genteng, sumur kuno, lumpang batu, dan batu calon prasasti.
Secara sederhana, situs ini memperlihatkan ciri situs permukiman dari periode Hindu-Buda. Pengujian lebih lanjut atas hasil penelitian pada situs Medowo yang luasnya sekitar 400 meter ini menunjukkan bahwa:
  • tembikar dari situs Medowo memperlihatkan ciri Majapahit seperti halnya tembikar Trowulan;
  • keramik-keramik Cina berasal dari masa yang berasal antara abad ke-13 hingga 14 Masehi; dan
  • analisis karbon (C14) menunjukkan masa antara 1202-1440 M.
Selain itu, temuan penggalian berupa struktur bata juga memperlihatkan kesamaan ukuran bata, pola ikat bata, dan kemiringan orientasi dengan struktur bata yang dijumpai di situs Trowulan.
Dengan demikian, dapatlah situs Medowo ini ditempatkan pada masa yang sama dengan Majapahit. Dengan melihat persamaan artefak dan fiturnya, maka sangatlah jelas bahwa baik Medowo maupun Trowulan adalah bekas sebuah permukiman kuno.
Persoalan baru muncul apabila dipertanyakan apakah ada hubungan antara Medowo dengan Trowulan? Tentu saja ada, Medowo adalah pemukiman kuno yang memiliki struktur hampir sama dengan situs di Trowulan.
Bedanya situs Medowo di wilayah Trik sedang Trowulan jauh di pedalaman di daerah Alasanta dan Lmah Tulis.
Jadi bila dikorelasikan dengan sumber sejarah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama maka lebih condong melokasikan ibukota Kerajaan Majapahit yang dibangun Raden Wijaya ada di daerah yang sekarang berada di Desa Gampingrowo Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo tersebut.
Ada beberapa alasan identifikasi daerah Tarik sebagai Trik ibu kota Majapahit awal:
1. Toponimi nama Tarik dengan Trik, dari istilah tersebut jelas memiliki kemiripan, hanya saja istilah sekarang ditambahi sisipan vokal ”a” menjadi”Tarik”. Jadi nama desa dan Kecamatan Tarik adalah nama daerah yang dahulu di sebut Trik.
2.  Lokasi desa Gampingrowo dengan desa Tarik sekarang berjarak sekitar 4 km. Sekitar 6 km ke timur laut terdapat Waringin Pitu (lokasi bendungan Waringin Sapta masa Airlangga), sekitar 7,5 km kearah timur lokasi dukuh Kelagen desa Watutulis tempat penemuan prasasti Kamalagyan (Masa Airlangga) dan bila 4 km kearah utara terdapat desa Canggu di seberang sungai Brantas, sekarang masuk Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto.
Hal ini berbeda dengan situs Trowulan dimana jarak situs Keraton Majapahit dengan situs masa sebelumnya sangat dekat bahkan satu lokasi.
3. Kembali pada tokoh Wiraraja sebagai ahli strategi. Dilihat dari letak geografisnya jelas sekali desa Gampingrowo sangatlah strategis sebagai tempat konsolidasi.
Selain dahulu hutan belantara, namun tidak jauh pula dengan urat nadi perekonomian kerajaan-kerajaan pedalaman terdahulunya, seperti Singasari, Panjalu-Jenggala dan Dinasti Isyana, yaitu dekat dengan Pelabuhan Canggu, bendungan Waringin Sapta dan Muara sungai Brantas Ujunggaluh-Rembang juga Sungai Porong.
Selain jauh dari pusat ibukota Dahanapura, dan tersembunyi di sekitar hutan orang Trik, dengan leluasa pasukan baru majapahit mengembangkan kekuatannya yang berasal dari Madura dan Tumapel.
Terlebih dahulu mereka bisa menguasai daerah sekitar Trik seperti Ujunggaluh, Canggu dan semua delta Brantas, maka hal ini akan melumpuhkan sendi perekonomian kerajaan Jayakatwang di Daha.
Dari sinilah kita dapat melihat kecemerlangan strategi tokoh Wiraraja, khususnya dalam melumpuhkan kerajaan Jayakatwang di Daha.
4. Pelabuhan Canggu berada di sebelah utara daerah Trik, hal ini sangat menguntungkan, karena pendiri pelabuhan dan sekaligus benteng Canggu adalah Raja Sminingrat atau Wisnuwardhana ayah dari raja Kertanegara raja besar Singasari.
Menurut Prasasti Canggu, Raja Sminingrat atau Wisnuwardhana yang membangun kutha Canggu.
Bhatara Wisnuwardhana angadegaken kutha ring Canggu lor isaka 1193.
[Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun 1193Ç].
Walau bagaimanapun pejabat-pejabat benteng sekaligus pelabuhan Canggu memiliki utang budi terhadap keturunan dan keluarga Raja Wisnuwardhana. Dalam Prasarsti Kudadu pun dijelaskan pada waktu Raden Wijaya dalam pelarian dari kejaran pasukan Jayakatwang, beliau berniat mencari suaka ke desa Terung dan sekitarnya.
Hal ini dikarenakan akuwu Rakriyan Wuru Agraja, yang diangkat sebagai akuwu oleh mendiang Sri Kertanegara, dengan harapan memperoleh bantuan darinya untuk mengerahkan penduduk daerah timur dan timur laut Terung.
Dari sini kita ketahui bahwa di daerah delta Brantas masih banyak kepala-kepala daerah yang memiliki hutang budi dengan keluarga Singasari. Hal ini pulalah yang di jadikan alasan penempatan ibukota di Trik yang berada di antara percabangan sungai Brantas (S. Mas dan S. Porong).
5. Pelokasian beberapa tokoh sejarawan bahwa Trowulan dahulu termasuk wilayah Trik kurang dapat diterima. Hal ini berlandaskan antara Trowulan dengan Trik selain cukup jauh juga tanahnya terbelah oleh Sungai besar Brantas.
Kebiasan orang dahulu, batas suatu daerah adalah alam, seperti hutan, bukit dan Sungai. Bila Trowulan wilayah Trik maka dimanakah nama daerah Alasanta dan Lmah tulis berada?
Bila nama daerah sekaliber Alasanta dan Lmah Tulis tidak di kenal, maka sebesar apakah daerah Trik dalam pengukiran sejarah kerajaan-kerajaan sebelum Majapahit?
Apakah desa Alasanta tempat prasasti Mpu Sindok dan Lmah Tulis tempat Mpu Barada termasuk wilayah Trik? Hal ini kurang dapat diterima, karena daerah situs Trowulan dahulu lebih terkenal nama-nama desa yang tertera dalam prasasti Alasanta dan Negara Kretagama, tanpa adanya nama Trik.
6. Dari beberapa alasan tersebut maka Situs Medowo, desa Gampingrowo, Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo, dapat diidentifikasi sebagai bukti bekas lokasi ibu kota kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya antara tahun 1214-1215Ç/1292-1293M.
7.  Wilayah ibukota kerajaan Majapahit diduga meliputi (sekarang) Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang.
Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi, namun, ada versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan.
Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada, kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan.